Minggu, 23 Maret 2014

BPJS Tak Lagi Ikut dalam Penyediaan Obat


KOMPAS.com -
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak lagi ikut serta dalam tata laksana penyediaan obat untuk peserta asuransi sosial tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksanaan asuransi sebelumnya, misal ASKES, yang menempatkan PT. ASKES sebagai penyedia dan penanggung jawab obat.
 
"Masalah obat saat ini diserahkan sepenuhnya pada rumah sakit. Rumah sakit yang menentukan terpenuhinya kebutuhan obat pasien dengan menggunakan standar formularium nasional (fornas)," ujar Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, dalam temu media yang membahas tata laksana pelayanan obat pada Rabu (26/2/2014) kemarin. 
 
BPJS dalam era JKN hanya bertanggung jawab pada pemenuhan klaim yang diajukan fasilitas kesehatan. Klaim diajukan berdasarkan ketersediaan dalam fornas, dengan harga berdasarkan e-katalog dan Daftar Penyediaan Harga Obat (DPHO) 2013. Fornas dan DPHO ditentukan Kementerian Kesehatan RI. Penyedia obat melakukan tender dan menjalin kerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI.
 
Pengaturan ini berbeda dengan berbagai bentuk asuransi terdahulu. Sebelumnya PT. ASKES bertanggung jawab melakukan kerja sama dengan produsen obat. Selanjutnya,instalasi farmasi layanan kesehatan yang bekerja sama dengan ASKES mendapat distribusi obat. Instalasi farmasi kemudian bisa mengambil untung dari penjualan obat.
 
"Dengan kondisi ini, maka kondisi internal rumah sakit menentukan ketersediaan obat. Rumah sakit harus memiliki manajemen berkualitas sehingga memiliki cash flow yang baik. Cash flow inilah yang menentukan ketersediaan obat, terlebih pada masa transisi, seperti saat ini, dengan jumlah peserta selalu meningkat," kata Fajriadi.
 
Sementara untuk puskesmas penyediaan obat diatur instalasi farmasi yang ada di kabupaten atau kota. Instalasi inilah yang kemudian mendistribusikan obat pada tiap puskesmas, sesuai klaim yang diajukan secara periodik. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan primer lain, misalnya klinik atau dokter praktik berjejaring, obat akan langsung didistribusikan pada instalasi farmasi.
 
"Untuk puskemas pemerintah daerah biasanya membantu ketersediaan obat melalui APBD atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini tentu membantu kapitasi layanan primer.Besarnya berbeda pada tiap daerah," kata Direktur Pelayanan Kefarmasian, Kementerian Kesehatan RI, Bayu Teja Muliawan.
 
Menurut Bayu, ketersediaan obat di instalasi farmasi kabupaten dan kota sudah mencapai 93 persen. Hal ini mengindikasikan masyarakat tidak perlu khawatir pada pemenuhan kebutuhan obat di fasilitas kesehatan primer. Pemenuhan obat biasanya hanya menghabiskan 30-40 persen total kapitasi, sehingga puskesmas tidak perlu khawatir pada besaran sisa yang digunakan untuk keperluan lain.
 
Menurut Fajriadi walau tak lagi mengurusi ketersediaan, BPJS tetap memantu tata laksana penyediaan obat di masyarakat. Apalagi komponen obat tergabung dalam besaran tarif INA-CBG's maupun kapitasi.
 
"Kalau masyarakat menemukan keluhan bisa dikirim ke keluhan.obat@bpjs-kesehatan.go.id. Sama seperti masalah lain dalam pelaksanaan JKN, ketersediaan obat juga memerlukan pantauan bersama," jelas Fajriadi.

Pasien Lebih Suka Pelayanan JKN Cepat Bukan Mewah

KOMPAS.com - Pasien lebih menyukai pelayanan cepat dibandingkan menerima fasilitas serba mewah. Rumah sakit yang mampu melayani secepat mungkin dengan berbagai fasilitas pembayaran lebih berkenan di hati masyarakat.

  Hal ini diungkapkan Direktur Rumah Sakit An-Nisa, Bandung, Ediansyah, berdasarkan hasil survei pada pasien rumah sakit.

"Sebanyak 98 persen pasien kami merasa puas pada pelayanan diberikan. Kepuasan ini merupakan hasil dari pelayanan sedini dan setepat mungkin tanpa perlu fasilitas mewah," ujarnya pada temu media pelayanan fasilitas kesehatan di era JKN, di Jakarta.  
Tak hanya menjaga kepuasan pasien, ketepatan pelayanan ternyata juga menjadi kunci keberhasilan RS An-Nisa dalam menjaga aliran dana di era JKN. Penanganan ini tidak berubah meski sebelumnya RS An-Nisa menerima pasien peserta Jamsostek.
 
Menurut Ediansyah, pasien JKN bahkan meningkat tiap bulannya. Pasien rawat inap meningkat dari 80 hingga 120. Bahkan tak jarang An-Nisa mengeluarkan kasur tambahan untuk menangani banyaknya pasien.

"Sebagai rumah sakit tipe C, fasilitas kami tentu banyak dikunjungi pasien dengan JKN. Dengan kenyataan ini, maka seluruh komponen rumah sakit sudah bersiap sejak Maret 2013," kata Ediansyah.
 
Merespons penambahan pasien JKN, rumah sakit pun menyiapkan pedoman pengobatan. Diawali dengan merangkum kondisi pasien kemudian bertanya pada dokter yang bertugas tindakan apa saja yang kerap dipraktekkan. Berbagai tindakan tersebut kemudian dilihat garis besarnya. Hasilnya, diperoleh panduan pengobatan suatu penyakit di rumah sakit.

Panduan pengobatan diambil berdasarkan tindakan atau obat yang paling efektif dan murah. Pedoman ini kemudian dijalankan pada semua pasien yang mengalami diagnosis serupa sehingga memperoleh tindakan dan pengobatan yang sama.
 
Pedoman ini memungkinkan pasien menerima pengobatan yang murah tanpa mengabaikan mutu. Dengan pedoman yang sama pasien tidak perlu antre lama pada satu dokter yang dinilai manjur, sehingga penanganan bisa diberikan lebih cepat. Pedoman juga disusun bila pasien harus menerima terapi tambahan dalam pengobatannya.

"Bila mampu mengelola, JKN tidak akan merugikan rumah sakit maupun pasien. JKN justru memungkinkan pasien memperoleh pengobatan yang baik tanpa harus mewah. Pada akhirnya kepuasan menjadi milik pasien dan rumah sakit," kata Ediansyah.